Friday, February 11, 2011

Profil KH Muntaha Azhari

KENANGAN WAKTU KECIL

Kang Mun, panggilan akrabku terhadap kakakku Muntaha. Lahir di Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, 20 km kearah tenggara dari Kota Salatiga yang sebenarnya termasuk wilayah Kabupaten Semarang. Kang Mun lahir pada tahun 1954 dan saya, adiknya, lahir pada tahun 1960.

Kami lahir dari keluarga sederhana dari seorang Bapak KH Azhari dan Ibu Siti Thohiroh. Nama Bapak Azhari diperoleh saat naik haji pada tahun 1960, yang sebelumnya memiliki nama Mu’allif, namun kebanyakan orang memanggil Mukalif. Bapak dan ibu menikah pada tahun 1933, dikaruniai 13 putra-putri namun 9 diantaranya meninggal sebelum dewasa. Kang Mun lahir sebagai putra ke-11 dan saya sebagai putra ke-13. Tetapi antara adik Kang Mun, Muntaqo dan Muntafi’ah, meninggal saat masih kanak-kanak.

Saat kecil, kang Mun adalah anak pendiam karena jarang bicara. Tidak bicara kalau tidak penting. Sering aku diingatkan, lisaanul ‘aalim fii qolbihi, wa lisaanul jaahil fii famihi ( lisan orang pintar berada di hatinya, dan lisan orang bodoh ada di mulutnya). Kang Muhimi (kakak bungsuku) pernah mengatakan kepadaku bahwa yang menjadi foto copy Bapak itu kakakmu, Muntaha, dari perawakan dan perwatakannya. Ketika masih balita, Ibu menimang kang Mun katanya dengan timangan yang sangat berbeda dengan yang lain, “Nang ning nung ning nang dhe blong, nak pinter-pinter dhewe, suk gedhe apal Qur’an” ,

(Anak laki-laki yang besar, anak pintar sendiri, kelak besar hafal Qur’an), padahal saat itu belum ada keluarga kami yang hafal Al-qur’an.

Ketika masih belajar di Sekolah Dasar SD Ketapang I, kang Mun belum banyak menonjol dalam prestasi sekolahnya, karena sering ngantuk (tampak tidur)

di sekolahan, mungkin karena sarapan pagi yang sering dengan nasi wadhang (nasi yang dimasak kemaren) dengan lauk seadanya, sambal korek (lombok dan garam) atau gereh bakar (ikan asin bakar). Tetapi badannya yang gemuk maka cepat lemas di sekolah, apalagi sesudah jalan kaki sekitar 1 km jarak dari rumah ke sekolah kearah timur. Namun di rumah, kang Mun sebagai putra yang tekun mengaji (belajar agama), karena di rumah setiap pagi sebelum Subuh Bapak membangunkan semua putra-putrinya untuk berjama’ah di surau depan rumah. Sesudah sholat Subuh berwirid dengan membaca surat Yasin dan Tabarok (surah Al-Mulk), kemudian minum teh bersama dengan mengajarkan hafalan Sholawat Badar, sholawat Muhammadur Rosululloh, yang kemudian Sholawat Muhammadur Rosululloh diwiridkan di surau bersama-sama. Sesudah Dzuhur, kami diajar Bapak di Sekolah Arab (Madrasah Diniyyah) yang berada di samping surau dengan metode pesantren, yaitu menghafalkan kitab Al-Ajromiyyah (Jurumiyah), ‘Aqidatul ‘awam, Syifa-ul Janan, kemudian ‘Imrithy, Alfiyyah ibnu Malik dan Nahwu Shorof. Pada malam hari sesudah Maghrib, banyak teman yang ikut mengaji di Surau depan rumah kami. Bapak mengajarkan Pesholatan (Cara Sholat dengan contoh gerakan, bacaan yang dihafal dan dijelaskan ) kemudian sesudah Isya, Bapak mengajar para remaja Kitab Safinatun Najah, Fat-hul Qorib, Hadits Arba’in an Nawawiyah dan tanya jawab.

KHITANAN, UJI KEBERANIAN DAN MENTAL AGAMA

Bagi setiap anak laki-laki mungkin menganggap suatu hal yang biasa. Namun kenangan peristiwa saat dikhitan, setiap orang mengalami perbedaan. Di desa Ketapang, umumnya anak laki-laki dikhitan dengan bersama teman sebaya. Bagi kang Mun, saat di khitan tidak sekedar dipotong sebagian alat vital, tetapi memiliki arti dan kenangan yang sangat berpengaruh dalam pembentukan mental agama dan uji keberanian. Anak yang berani di khitan di desa ini umumnya sudah khatam (tamat) membaca Al Qur’an danberani membaca surat-surat pendek dari Juz 30

Pada hari itu Senin Pon tanggal 11 Desember 1964, sesudah tes catur wulan terakhir kelas 4 SD, Kang Mun malam itu harus membaca khataman Alqur’an dengan membaca surat-pendek Juz 30 pada acara sakral Sewelasan, yaitu 11 Robi’ul akhir bertepatan dengan peringatan Haul Besar Syeikh ‘Abdul Qodir Jilani yang dihadiri tidak kurang dari 500 orang dengan panggung yang tinggi di depan kediaman Pak Dhe Basri (mbah KH Basri Abdul Syukur) yang saat itu menjabat sebagai ketua Umum Thoriqoh Mu’tabaroh Prop. Jawa Tengah. Acara itu dihadiri oleh 2 Bupati, Bupati Semarang dan Bupati Boyolali. Secara kebetulan Kang Mun yang sebaya dengan putra ke-5 pak Dhe Basri, Kang Masykur (sekarang Almarhum) maka khitannya diajak bersama. Selain Kang Mun dan Kang Kur ada seorang teman lagi yaitu pak Man (Musliman Hadi Priyono bin Muslimin). Malam itu ketiganya disambut para tamu dan dihormati, bermalam di rumah pak Dhe Bas lantai atas yang beralas kayu. Rumah pak Dhe Bas adalah rumah tingkat satu-satunya di Kecamatan Susukan saat itu. Pagi harinye dengan selamatan yang mewah, ketiganya kemudian dimasukkan ke mobil untuk dibawa ke DKT (Dinas Kesehatan Tentara) Salatiga untuk dikhitan disana. Semua biaya khitanan ketiga anak ini dbiayai oleh Bupati Boyolali waktu itu. Tidak kurang dari satu bulan, ketiga anak yang dikhitan ini tidak pernah berpisah. Bahkan kemanapun berjalannya banyak anak lain yang mendampingi. Setiap pagi, disediakan air hangat di Waskom untuk seko (mebasahi badan memakai lap), dan minuman hangat beserta makanan ringan selalu tersedia. Karena banyaknya orang yang memberi uang, anak-anak yang mengawal disuruh untuk membeli permen dan dibagi-bagi.

Saat itu bukan berarti Bapak tidak mampu membiayai untuk mengkhitankan kang Mun. Tetapi keberanian seorang anak diuji keberaniannya untuk memutuskan disimak (didengarkan) membaca Al-Qur’an dan berani menahan sakit bila di khitan. Keputusan Kang Mun saat ditanya oleh Bapak tentang keberaniannya di khitankan bersama kang Masykur merupakan satu kebulatan keputusan pribadinya. Hal itu sangat dipuji dari keluarga Bapak dan keluarga pak Dhe Bas, karena kang Kur sebenarnya anak yang penakut dan manja. Dengan adanya kang Mun yang berani di khitan bersamanya, maka kang Kur yang umurnya sebaya, telah membuat besarnya hati kedua keluarga.

Khitanan ketiga anak ini tidak sekedar pertemanan yang dekat, tetapi lebih jauh sebagai symbol persatuan antara tokoh agama dari Bapak sebagai tokoh penggerak pengajian dan khotib tetap di Masjid Kwangsan, dengan figur pewaris

Pengasuh Masjid terbesar di desa Ketapang.

MENERIMA MASUK MTs-NU SUSUKAN SESUDAH TAMAT SD

Sesudah tamat SD pada tahun 1967, sebagian anak yang menonjol dari Ketapang melanjutkan ke SMP Negeri di kota Salatiga. Nilai dan prestasi kang Mun sebenarnya pantas melanujutkan ke sana, tetapi dengan arahan Ibu akhirnya kang Mun menuruti pilihan Ibu, lebih-lebih Ibu yang sudah sering kambuh dari sakit sesak napas.

Dengan modal mengaji di rumah, ketika melanjutkan sekolah lanjutan di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Susukan yang berjarak 1,5 km dari rumah kearah barat di ibukota kecamatan itu, Kang Muntaha yang sudah mahir kitab-kitab, pada mata pelajaran agama sering disuruh pak guru/ibu guru untuk menjelaskan, bahkan sering pak guru yang salah karena tidak tahu ilmu Nahwu dibetulkan ketika membaca tulisan Arab yang salah. Pujian untuk kang Mun hampir dari semua guru di sekolah MTs sampai Madrasah Aliyah di Susukan.

Ternyata Kang Mun yang tenang tetap membenahi kekurangannya. Sangat disadari saat itu yang harus dikejar adalah ilmu-ilmu pasti, Bahasa Inggris dan hafalan. Sehingga buku-buku yang diperlukan kang Mun, dicari dengan cara mengumpulkan hasil derep (ikut menuai padi) di sawah milik Bapak sendiri yang diberi imbalan hasil panen (bawon) yang kemudian dititipkan untuk ikut dijual guna membeli buku-buku pegangan sekolah. Kemudian dengan rela berjalan kaki ke Salatiga melalui Tingkir (kira-kira 12 km, jaraknya dari rumah), dan sesekali ke Solo yang berjarak 40 km dengan berjalan kaki. Dalam mengejar hafalan Al-qur’an, kang Muntaha sudah memulai disuruh Bapak untuk menghafal sendiri dan mengajar hafalan Juz ‘amma (Juz 30) kepada teman sebaya dan anak-anak waktu pagi di Surau saat masih di MTs. Hasil didikan Kang Mun termasuk saya dan 15-an teman saya bisa hafal dan fasih Juz 30. Kemudian dengan datangnya Pak Dhe Romi (KH. Muromi) di Ketapang yang menjadi alumni Pondok Krapyak (Al-Munawir Krapyak, Yogyakarta), Kang Mun lebih tekun menghafal ke rumah beliau setiap pagi, dengan mentas-hih juz 30, Al Mulk, Ar-Rohman, Al-Waqi’ah, Ad Dukhon, As Sajdah, Al Kahfi kemudian Juz 1 sampai Juz 10 saat tamat Madrasah ‘Aliyah. Kepandaian Kang Mun yang diimbangi dengan tulisannya yang bagus baik latin maupun Arab, maka teman-teman sekelas di ‘Aliyah sering datang ke rumah untuk mengaji bersama di Surau atau Madrasah yang ada di depan rumah.

KEBIASAAN SAAT KECIL

Seperti anak kecil lainnya waktu itu, Kang Mun jarang tidur di rumah bersama Bapak atau Ibu. Bersama teman-teman sebaya sering tidur di Surau yang ada di depan rumah. Sebelum tidur mereka bercanda, sambil menanyakan kepada kang Mun penjelasan pelajaran ngaji dari Bapak dan menghafalkan bergantian. Kang Mun seringkali menyendiri di kala teman-temannya bercanda dengan menulis keterangan Bapak di buku catatannya. Kitab Jurumiyah, Umrithy, dan Alfiyah, kang Mun mencatat lengkap syarah, arti dan keterangan yang diberikan oleh Bapak.

Kebiasaan kang Mun adalah tidak pernah menunda sesuatu yang penting bila dapat dikerjakan pada waktu itu, bahkan jarang memerintahkan kepada orang lain bila dirinya bisa. Bahkan mengajak kepada yang lain bila suatu pekerjaan itu menyangkut pekerjaan bagi yang lain. Sebagai adik, kang Mun sering mengajak aku untuk mandi dan mencuci pakaian bersama ke kali Gambir, mengajak ke sawah untuk mengairi sawah (nurut banyu), membantu Bapak atau disuruh mengirim makanan (ngirim) orang bekerja di sawah/kebun.

Kang Mun adalah seorang putra penurut, khususnya orang tua. Memang Bapak mengajarkan kepada semua putra putrinya untuk mengatakan “Wegah” (malas). Semua yang diperintahkan orang tua, kang Mun selalu mengikuti. Sejak kecil kang Mun sudah terbiasa puasa hari Senin Kamis dan hari wetonnya (kelahirannya) hari Jum’at Pahing. Berbaktinya kang Mun terhadap Ibu, setiap malam Jum’at Pahing kang Mun mengambil air putih yang disiramkan ke telapak kaki Ibu kemudian diminum. Begitu Ibu meninggal pada tahun 1968 saat Kang Mun duduk di kelas 1 MTs, kebiasaan itu dilanjutkan ke kaki Bapak sampai kang Mun meninggalkan Desa Ketapang.

Pada hari Kamis sore, kang Mun mengajak teman-teman ke makam Simbah

di Makam Masjid Kidul, kemudian ke makam Eyang di Penggung Sidoharjo yang jaraknya 2 km kearah barat laut dari rumah. Kalau tidak sempat sore hari, ziyarah ke makam dilakukan pada malam hari. Sampai-sampai kebiasaan kang Mun ini diikuti oleh guru Sekolah Arab di depan rumah untuk mengajak semua muridnya ziyarah ke makam Masjid Kidul dan ke Penggung setiap Kamis sore.

Badan yang gemuk sejak kecil, kang Mun sering membawa gula Jawa sebagai makanan camilannya. Yu Sumah pernah bercanda ketika persediaan gula jawa tinggal sedikit”nanti kalau gulanya habis, kamu nderes (mencari nira kelapa) dulu”, saat itu kang Mun menangis karena tidak dapat memanjat pohon kelapa. Kang Mun tidak pernah makan daging, apalagi daging kambing karena saat kecil pernah disuruh pak Tamrin (paman) untuk berpuasa dengan tidak makan makanan yang berasal dari binatang yang bernyawa (nyegah iwak) selama tiga tahun. Sesudah itu jarang sekali makan daging. Yang tidak pernah dilakukan Kang Mun adalah minum kopi, mengkonsumsi obat apalagi merokok, walaupun semua keluarga yang laki-laki terbiasa merokok. Kebiasaan lain kang Mun tidak pernah memakai pakaian yang menyolok dan tidak pernah berkacamata, yang mencerminkan kesederhanaannya.

TIDAK MEMBEDA-BEDAKAN ORANG UNTUK MEMBANTU

Dari Bapak dan Ibu setiap ada keluarga yang sedang memiliki hajat tertentu selalu diajak untuk membantu, baik persiapan maupun ketika resepsi.

Lebih-lebih bila ada keluarga yang sakit atau meninggal, kalau tahu pasti menjenguk melawat walaupun terlambat. Setiap Lebaran , Bapak selalu mengajak untuk Ba’dan ke rumah sesepuh tanpa membedakan kaya dan miskin.

Sehingga sesudah Bapak harus di rumah saat Lebaran, karena sudah tua menjelang wafatnya pada tahun 1981, maka kang Mun mencari pola silaturrohim kepada keluarga dekat dengan membentuk kumpulan keluarga Besar Bani Umar (Eyang/Mbah Penggung) sejak tahun 1973. Saat itu kang Mun masih duduk di kelas 1 Madrasah Aliyah dengan mengumpulkan keluarga Ketapang dan Tingkir. Kumpulan keluarga ini sampai sekarang masih terjalin dengan silaturrahim arisan bulanan dari para pengurusnya dan halal bi halal setiap sesudah Idul Fitri. Bahkan kumpulan keluarga semacam ini kemudian banyak ditiru oleh keluarga-keluarga besar lainnya di Desa Ketapang, selain juga membuat keluarga Besar yang lebih kecil dan efektif. Seperti halnya keluarga besar Bani Azhari, yang kebetulan bulan Syawal kemaren di rumah saya Sukoharjo, Kang Mun berpesan kepada semua anak turun mbah KH Azhari, bahwa “Walaupun zaman berubah bagaimanapun, tetapi orang yang memiliki ilmu dan berbudi pekerti mulia (akhlaqul karimah) pasti akan mendapatkan tempat yang terpuji”.

Terhadap teman, kang Mun berteman dengan banyak orang yang bermacam-macam tipe orang. Karena pendiam dan tidak pernah marah maka seolah–olah tidak ada yang canggung untuk bergaul. Namun terhadap teman yang belum pintar kang Mun tidak pernah menutup pintu untuk memberi nasehat atau menjawab pertanyaan, begitu juga terhadap teman yang pandai kang Mun tidak pernah canggung menghadapi.

Di tengah teman sekolah dan di lingkungan masyarakat, banyak teman yang bentuk badannya pendek, tinggi ataupun punya ciri, ada yang kakinya pincang (thengklang), matanya ciri sebelah (kero atu kincer), tangannya yang tidak bisa lurus (ceko) dan banyak lagi yang lain, tetapi ketika orang lain mengolok kang Mun tidak pernah ikut-ikutan mengejek, sehingga orang yang punya ciri tersebut tetap baik terhadap kang Mun. Sesekali kang Mun mendekati orang yang dibenci orang lain dengan memberi nasehat. Apalagi dengan orang yang masih punya hubungan darah, kang Mun memperhatikan dengan membantu apa yang dia punya dan yang dibutuhkan. Sering kang Mun mengingatkan Wa aatal maala ‘alaa hubbihi dzawil qurbaa (QS Al Baqoroh 177) “… dan memberikan harta benda kepada yang dicintai yang masih kerabat…”. Maasya Allah, terhadap keluarga, apalagi saya sebagai adik, kang Mun tidak pernah mengeluh untuk menbantu, dan ternyata SMS terakhir pada hari Selasa jam 05.00 tanggal 28 Desember 2010, kang Mun yang tidak pernah mengatakan istirahat memberikan SMS kepada saya, “ saat ini aku kurang enak badan, aku perlu istirahat, Mur”. Ternyata itulah kata-kata istirahat yang terungkap pertama dan yang terakhir dari kang Mun. Tidak berselang lebih dari 17 jam dari terkirimnya SMS itu, ternyata Kang Mun telah istirahat, istirahat untuk selamanya. Selamat beristirahat kakakku, semoga anak cucu kita dapat melanjutkan perjuangan hidupmu dan kita dapat berkumpul lagi di dalam nikmat Kubur sampai di Syurga, AMIIN.

اللــهم اغفـر له وارحــمه وعــافه واعف عنه

وأكــرم نزله ووسـع مدخــله واجعل الجنة مثواه

آمين يارب العــالمين

Sukoharjo, Akhir Desember 2010

Adik yang kau tinggalkan

Ali Murtadho Azhari

No comments: