Tuesday, February 1, 2011

Pak Muntaha Sosok yang Terbuka

Dr. Pradjarta Dirdjasanjoto, SH, MA*

Secara pasti saya lupa, kapan saya mulai mengenal Pak Muntaha, tapi pada waktu itu kami sama-sama terlibat dalam proses bersama dengan Pak Mahfudz (KH. Mahfudz Ridwan) di Forum Gedangan yang pada waktu itu ada banyak kegiatan bersama. Pada waktu itu ada masa-masa perubahan sosial politik di Indonesia, bukan saja terjadi di tingkat nasional, tetapi juga di tingkat lokal. Ada kegiatan-kegiatan seperti ak keprihatinan (menjelang reformasi), di situ saya ketemu dengan Pak Muntaha. Juga dalam konteks yang lebih lokal lagi pada kegiatan-kegiatan bersama untuk mengatasai persoalan-persoalan krisis ekonomi dan bagaimana melakukan pengembangan masyarakat, di situ saya menjadi sering bertemu dengan Pak Muntaha. Memang pertemuan itu tidak individual, tetapi di dalam kelompok atau komunitas.
Yang menonjol dari Pak Muntaha, menurut saya, punya wawasan yang cukup terbuka terhadap keanekaragaman. Secara nyata sikap-sikap itu dimunculkan dalam berbagai diskusi. Karena pada waktu awal-awal diskusi tentang lintas-iman, sebenarnya untuk banyak orang masih sensitif atau itu hanya dimungkinkan untuk hal-hal yang bersifat umum. Kalau kerja bakti bersama, kegiatan ekonomi atau kemasyarakatan di mana-mana itu bisa, tapi begitu masuk ke ranah bagaimana suatu perbedaan keyakinan itu bisa terjalin dengan pertemanan, bagaimana kemungkinan itu bisa dikembangkan dari perbedaan-perbedaan itu tidak banyak orang memahaminya. Dan, Pak Muntaha adalah salah seorang yang berani membuka ruang itu. Saya kira (pada waktu itu) menjadi pembicara dalam persoalan-persoalan yang menyangkut intern di lingkungan Islam, masih jarang orang mau mengundang.
Tetapi sangat mengesankan karena saya diundang di masjidnya untuk satu pertemuan, dimana dibahas tentang bagaimana proses-proses demokrasi itu diterima dan bagaimana dikembangkan di lingkungan Islam. Karena ada persoalan-persoalan ketegangan yang akan muncul apabila prinsip-prinsip demokrasi mau dikemukakan. Ada perdebatan yang pada waktu itu cukup keras, misalnya, apakah nilai-nilai demokrasi akan bertentangan dengan tradisi-tradisi yang sudah berkembang cukup lama di lingkungan NU maupun pesantren. Persoalan, misalnya kalau pesantren didemokratisasikan tidak mengancam kedudukan kyai atau kedudukan para tokoh. Dia tahu saya punya pandangan dalam persoalan ini, tapi menurut saya sebenarnya dalam tradisi-tradisi Islam itu cukup demoratis, cukup mengandung prinsip-prinsip yang mudah menerima prinsip egalitarianisme.
Saya melihat di pesantren ada prinsip yang tidak terlalu terstruktur dalam sistem yang lama, kapan saja orang bisa masuk ke pesantren, kapan saja bisa keluar tanpa menimbulkan ketegangan. Itu mengandung potensi demokrasi yang besar. Di agama lain, terlebih di bidang pendidikan, kalau orang masuk dan keluar sebelum waktunya itu bisa dianggap DO (drop out). Sementara di pesantren, karena waktunya terbatas, santri bisa pergi atau pindah ke pesantren yang lain itu tidak menimbulkan perasaan sakit hati, ketegangan, dan hubungan santri dengan kyainya juga tidak dirusakkan. Ini potensi2 yang bisa berkembang dari sisi demokrasi dan saya melihat itu tidak menjadi kesulitan.
Mengundang orang non-Islam untuk biacara tentang situasi internal menurut saya itu suatu sikap keterbukaan dari Pak Muntaha. Tampak bahwa dia tokoh yang cukup kuat, cukup disegani, dan tidak takut bahwa kedudukan atau posisinya akan terancam dengan keterbukaan itu. Sehingga dia bisa memulai sebuah hubungan-hubungan lintas iman yang lebih jujur, lebih terbuka, lebih santai, dan lebih dalam suasana kedamaian.
Pada waktu Pak Muntaha pindah ke Jakarta, saya juga merasa kehilangan karena dia bisa menjembatani antara KH. Mahfudz Ridwan yang juga sama-sama terbuka dengan teman muda. Posisi Pak Muntaha secara generasi berada di tengah-tengah antara Pak Mahfudz dan teman-teman yang muda. Ia juga bisa menjembatani dengan kyai-kyai yang lain, bahkan kyai-kyai yang tidak terlalu dekat dengan Pak Mahfudz. Bisa saja orang tetap menghormati Pak Mahfudz tetapi tetap berjarak oleh akrena tidak terbiasa. Sedangkan Pak Muntaha tetap berani untuk menjembataninya dengan segala kelihaian dan sikap yang dia tunjukkan bahwa dia punya sesuatu. Saya menduga, dan dari jauh saya mengamati, Pak Muntaha diterima dengan legowo oleh tokoh seperti Pak Mahfudz dan yang lain. Saya kira semua orang akan mengatakan bahwa kepergian Pak Muntaha memang dirasakan sebagai sebuah kehilangan.
Ke depan ada pertanyaan besar, sejauh mana nilai-nilai, cara pandang, wawasan, dan sikap dari Pak Muntaha sudahkah di sosialisasikan atau ditanamkan di antara orang-orang di sekitarnya. Karena sepeninggal beliau dalam konteks lokal ini menjadi pertanyaan, siapa yang akan melanjutkan posisinya. Tapi saya percaya pasti akan ada, dan itu bukan kekosongan yang terus-menerus, akan ada kandidat atau generasi penerus yang akan mengisinya. Itu pikiran yang muncul di pikiran saya secara sepontan mendengar wafatnya Pak Muntaha itu.
Saya percaya Pak Muntaha orang yang cukup terbuka dalam melihat hubungan antara hal-hal kehidupan sehari-hari dengan persoalan doktrin-doktrin keislaman. Pengantar beliau sewaktu saya diundang dalam diskusi di Masjid Al-Azhar beberapa tahun yang lalu, ada sinyalemen bahwa demokratisasi bisa meruntuhkan kultur NU yang terpusat pada Kyai. Terancamkah hal itu dengan proses demokratisasi? Tapi Pak Muntaha punya sikap bahwa kelenturan dan ruang itu ada dalam tradisi pemikiran Islam. Bagaimana NU juga terbuka terhadap budaya-budaya setempat, itu menunjukkan sifat-sifat kelenturan, walaupun dalam budaya setempat sikap-sikap primordial juga sangat kuat.
Dalam soal ini, Pak Muntaha punya posisi yang juga unik, yang mejembatani antara ikatan2 promordial lokal dengan dunia modern spt dunia pendidikan. Misalnya, kalau dia pergi ke Jakarta sebagai bagian dari tantangan itu, pasti di sana diperhadapkan dengan dunia yang berbeda sekali dengan dunia Salatiga, atau di NU secara lokal. Saya juga melihat di NU warna lokalnya cukup kuat, artinya diakui atau tidak, secara diam-diam keanekaragaman itu cukup besar. Orang sering menganggap NU itu dimana-mana sama, padahal sebenarnya tidaklah demikian karena NU di pesisiran sama sekali berbeda dengan NU di pedalaman, dan kemampuan untuk mengabsorsi budaya-budaya lokal itu cukup besar. Dan saya melihat mobilitas Pak Muntaha itu menunjukkan keterbukaan bagaimana keanekaragaman secara budaya, antara dunia modern dengan dunia tradisional dihadapi. Sejauh ini saya tidak mendengar kesulitan dan sikap-sikap yang menjadi penghambat bagi kemungkinan perkembangan keagaman ke depan bagi teman-teman di NU dan teman-teman di lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Ketika saya melakukan studi di Pati, saya bertemu dengan banyak kyai. Ada banyak kyai yang justru menyediakan diri dan membuka diri terhadap perubahan dari luar, bahkan yang dari pusat perkembangan politik di Jakarta. Saya ingat orang seperti KH Sahal Mahfudz juga membuka pesantrennya terhadap macam-macam perubahan dari luar. Walaupun dia tetap kritis terhadap yang datangd dari luar itu, tapi pada prinsipnya beliau membuka diri. Bahkan waktu saya mulai penelitian di sana saya boleh masuk dan diterima di sana. Waktu itu juga ada orang asing yang mengajar Bahasa Inggris di sana. Tapi ada juga kyai yang terhadap perubahan dari luar dia mundur, artinya lebih memilih menjauhkan diri dari politik.
Pak Muntaha adalah tipe kyai yang, sekalipun memelihara identitas kelokalannya tetapi tetap berusaha menerima perubahan-perubahan budaya dan civilisasi dari luar. Dan dia punya kemampuan itu dan melihat perubahan itu sebagai sesuatu yang harus disikapi tanpa menutup mata, sekedar menolak. Tapi juga tidak sekedar menerima karena Pak Muntaha cukup Kritis dan masih tetap ingin memelihara posisinya di NU. Sebagai Ketua Syuriah pasti dia dianggap kompeten untuk memberi respon terhadap tantangan yang muncul dari perubahan zaman, atau perubahan hubungan desa-kota, dsb.
Saya kira Pak Muntaha dan Pak Mahfudz adalah orang-orang yang menempati titik-titik silang kritis. Titik-titik silang itu, kalau Cliffort Geertz selalu mengatakan titik silang kritis antara kemoderan dan ketradisionalan, antara sistem-sistem dan pusat-pusat kekuasaan di luar komunitas umat, dengan apa yang hidup dan dihidupi di lingkungan umat. Itulah posisi-posisi yang khas dari Pak Muntaha dan Pak Mahfudz. Saya sendiri merasa sayang waktu mendengar beliau meninggal, dan karena tidak tahu sehingga tidak bisa mengantar kepergian beliau.


(Antropolog, Direktur Lembaga Percik)

No comments: