Friday, February 11, 2011

Mas Muntaha Orang yang Turut Membesarkan Saya

Saya kenal Mas Muntaha (Mas Mun) sejak saya masih menjadi mahasiswa di FT IAIN Walisongo Salatiga pertengahan tahun 1989. Waktu itu saya bersama kawan saya Musa Ahmad mengadakan Seminar “Santri, Kitab Kuning dan Kepedulian Sosial” di pesantren kakak saya di Desa Kalibening. Beruntung kegiatan saya ini terdengar oleh Mas Mun karena kebetulan adik Mas Mun yakni Murtadlo menjadi salah satu peserta, sehingga saya direkomendir beliau untuk mengikuti Pelatihan Metodologi Penelitian Transformatif (PMPT) yang diselenggarakan oleh LPiST-LIPI selama satu bulan di Jakarta. Waktu itu saya bahkan sempat menolak karena takut mengikuti pelatihan yang bagi saya terlalu tinggi yang diikuti oleh kalangan intelektual dan aktifis terpilih dari seluruh Indonesia. Saya bersedia mengikuti pelatihan itu dengan syarat bersama dengan kawan saya Musa Ahmad. Lucu memang, peserta yang semestinya tidak memenuhi persyaratan kok malah minta syarat.

Dan terbukti, setelah mengikuti pelatihan saya bisa disebuat satu-satunya peserta yang benar-benar tidak memenuhi persyaratan, hanya “longa-longo”. Bayangkan saja, satu bulan mengikuti pelatihan saya hanya dua kali berbicara. Selebihnya hanya mendengar.

Namun sepulang dari pelatihan saya bersama Musa Ahmad langsung mengadakan pelatihan serupa bagi teman-teman saya mahasiswa IAIN Salatiga. Kegiatan berlangsung selama satu minggu dan karena alasan penghematan biaya maka kegiatan ditempatkan di rumah saya. Ya, karena memang cuma bermodalkan uang saku Musa Ahmad dan saya yang diperoleh dari keikutsertaan PMPT tersebut. Bahkan, untuk kebutuhan konsumsi Musa Ahmad juga menyumbangkan satu karung beras yang diambilnya dari kampungnya di Kesugihan, Cilacap.

Dampak dari pelatihan ini sangat terasa, para alumni kemudian menindaklanjuti melalui pembentukan komunitas jaringan yang kami namai Jaringan Studi Transformasi Sosial (JSTS) dan berikutnya menjadi organisasi jaringan sosial transformatif di Salatiga. JSTS inilah yang selanjutnya disebut-sebut sebagai cikal bakal gerakan sosial di Salatiga, berbasis mahasiswa IAIN Walisongo, menyusul pendahulunya Yayasan Gemi Nastiti (Geni) dari UKSW.

Berbarengan dengan JSTS, saya lebih banyak konsentrasi di desa saya sendiri bersama para petani membangun kelompok tani dengan nama Paguyuban Berkah Alam Albarokah. Dan Albarokah ini selanjutnya berkembang menjadi Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT) yang sekarang ini menjadi Serikat Tani yang cukup diperhitungkan di Republik ini.

Selesai mengikuti PMPT saya selalu berkontak dengan Mas Mun. Termasuk Mas Mun juga sempat berbagi pada kami bahwa beliau telah melaksanakan serangkaian halaqah Program Peningkatan Wawasan Keulamaan (PPWK) yang diselenggarakan oleh Lakpesdam NU dan kebetulan beliau sebagai Project Officernya.

Bersama teman-teman seperti Pak Imam Baihaqi, Musa Ahmad, Muh Haris, Mohammad Akbar, Abdoel Rohim, Ali Taksisuddin dan lain-lain, dan tentu atas restu Bapak KH.Mahfudz Ridwan (yang lebih akrab kami panggil Pak Mahfudz), kami mencoba mengadopsi program PPWK hanya kami rubah dari Peningkatan Peran Wawasan Keulamaan. Sebelum melaksanakan program ini, atas usul Mas Mun sebaiknya dibangun dulu secara kelembagaan agar pengelolaan kegiatannya lebih jelas. Maka dibuatlah wadah baru yang nantinya akan menangani program-program tersebut. Berbagai usulan nama pun muncul, termasuk Mas Mun yang mengusulkan dengan empat kata yang juga disepakati bersama, yakni Nadwah Dirasah Islam dan Kemasyarakatan atau yang kemudian lebih akrab dengan akronim NADIKA.

Atas sedikit bantuan pendanaan dari kawan saya Annette Kubler dari Umverteilen Stiftung Jerman, kami dapat menyelenggarakan serangkaian halaqah yang diikuti para Kiai dari Salatiga dan Kabupaten Semarang. Kegiatan ini kemudian banyak menghadirkan sejumlah narasumber nasional terkemuka. Nama-nama seperti KH. Mustofa Bisri, KH. Dr. Masdar Farid Mas’udi, Dr. Muslim Abdurrahman, Dr. Qodri Azizi, KH. Malik Madani, MA, KH. Prof. Dr. Said Aqil Siradj, Prof. Dr. Machasin, Dr. Fajrul Falakh, dsb. Mereka dihadirkan ke NADIKA atas kapasitas dan kepakarannya untuk berbicara tentang berbagai persoalan-persoalan keislaman secara aktual. Topik-topik aktual seperti “Dinamika Keilmuan Pesantren dan Keulamaan”, “Dekonstruksi Pemikiran Islam dalam Konteks Kemasyarakatan”, “Peran Keulamaan dan Kemasyarakatan”, dsb.

Kegiatan halaqah NADIKA ini disebut-sebut sebagai kegiatan yang bersejarah dan menjadi sorotan dari berbagai kalangan. Bahkan oleh salah satu narasumber Dr. Moeslim Abdurrahman yang juga pendiri LPiST dan penyelenggara PMPT sempat mengukuhkan saya sebagai alumnus PMPT teladan. Yah, rekomendasi Mas Mun tidak sia-sia.

Setelah NADIKA, Pak Mahfudz bersama para tokoh lintas agama di Salatiga mendirikan Forum Gedangan. Pak Mahfudz menjabat sebagai Ketua Dewan Pengurus, Mas Mun sebagai Ketua Pelaksana Harian, dan saya sebagai sekretaris. Sedikit disayangkan memang, karena Mas Mun lebih banyak di Jakarta sehingga Forum Gedangan dan juga NADIKA cenderung kurang terurus.

Tahun 2003 saya mengembangkan pendidikan alternatif. Satu tahun berikut Mas Mun memasukkan anaknya Rasih Fuadi sebagai salah satu siswa di Komunitas Belajar yang saya prakarsai ini. Dan sekarang ini Rasih Fuadi melanjutkan studinya di UI mengambil jurusan filsafat.

Itulah Mas Mun, orang yang secara idiologis telah melahirkan saya dan menemani saya dalam gerakan selama 20 tahun lebih.

Selasa, tanggal 28 Desember sore 2010 di sofa rumahku, Pak Marjan Sadzali (alumnus halaqah NADIKA tiba-tiba melontarkan gagasan untuk mengadakan kembali program Halaqah NADIKA, dan saya setuju itu tetapi saya sarankan dipelopori oleh SPPQT saja karena kebetulan Pak Marjan Sadzali sekarang ini menjabat sebagai salah satu anggota Dewan Pimpinan Petani SPPQT.

Malam hari tanggal itu juga selepas isya’ saya dapat SMS kalau Mas Mun meninggal tadi sore di Jakarta !. Ya, tadi sore ! pas ketika saya sedang membicarakannya dengan Pak Marjan.

Selamat Beristirahat Mas Mun, saya yakin Nashif Ubadah (Uut) yang sudah menyelesaikan studi S1-nya di Universitasa Al Azhar Cairo, Mesir dan sekarang ini sedang melanjutkan S2-nya di UIN Sunan Kalijaga, juga Rasih Fuadi yang sedang belajar di Filsafat UI mereka akan melanjutkan perjuanganmu.

*Bahruddin

No comments: