Friday, February 11, 2011

Profil KH Muntaha Azhari

KENANGAN WAKTU KECIL

Kang Mun, panggilan akrabku terhadap kakakku Muntaha. Lahir di Desa Ketapang, Kecamatan Susukan, 20 km kearah tenggara dari Kota Salatiga yang sebenarnya termasuk wilayah Kabupaten Semarang. Kang Mun lahir pada tahun 1954 dan saya, adiknya, lahir pada tahun 1960.

Kami lahir dari keluarga sederhana dari seorang Bapak KH Azhari dan Ibu Siti Thohiroh. Nama Bapak Azhari diperoleh saat naik haji pada tahun 1960, yang sebelumnya memiliki nama Mu’allif, namun kebanyakan orang memanggil Mukalif. Bapak dan ibu menikah pada tahun 1933, dikaruniai 13 putra-putri namun 9 diantaranya meninggal sebelum dewasa. Kang Mun lahir sebagai putra ke-11 dan saya sebagai putra ke-13. Tetapi antara adik Kang Mun, Muntaqo dan Muntafi’ah, meninggal saat masih kanak-kanak.

Saat kecil, kang Mun adalah anak pendiam karena jarang bicara. Tidak bicara kalau tidak penting. Sering aku diingatkan, lisaanul ‘aalim fii qolbihi, wa lisaanul jaahil fii famihi ( lisan orang pintar berada di hatinya, dan lisan orang bodoh ada di mulutnya). Kang Muhimi (kakak bungsuku) pernah mengatakan kepadaku bahwa yang menjadi foto copy Bapak itu kakakmu, Muntaha, dari perawakan dan perwatakannya. Ketika masih balita, Ibu menimang kang Mun katanya dengan timangan yang sangat berbeda dengan yang lain, “Nang ning nung ning nang dhe blong, nak pinter-pinter dhewe, suk gedhe apal Qur’an” ,

(Anak laki-laki yang besar, anak pintar sendiri, kelak besar hafal Qur’an), padahal saat itu belum ada keluarga kami yang hafal Al-qur’an.

Ketika masih belajar di Sekolah Dasar SD Ketapang I, kang Mun belum banyak menonjol dalam prestasi sekolahnya, karena sering ngantuk (tampak tidur)

di sekolahan, mungkin karena sarapan pagi yang sering dengan nasi wadhang (nasi yang dimasak kemaren) dengan lauk seadanya, sambal korek (lombok dan garam) atau gereh bakar (ikan asin bakar). Tetapi badannya yang gemuk maka cepat lemas di sekolah, apalagi sesudah jalan kaki sekitar 1 km jarak dari rumah ke sekolah kearah timur. Namun di rumah, kang Mun sebagai putra yang tekun mengaji (belajar agama), karena di rumah setiap pagi sebelum Subuh Bapak membangunkan semua putra-putrinya untuk berjama’ah di surau depan rumah. Sesudah sholat Subuh berwirid dengan membaca surat Yasin dan Tabarok (surah Al-Mulk), kemudian minum teh bersama dengan mengajarkan hafalan Sholawat Badar, sholawat Muhammadur Rosululloh, yang kemudian Sholawat Muhammadur Rosululloh diwiridkan di surau bersama-sama. Sesudah Dzuhur, kami diajar Bapak di Sekolah Arab (Madrasah Diniyyah) yang berada di samping surau dengan metode pesantren, yaitu menghafalkan kitab Al-Ajromiyyah (Jurumiyah), ‘Aqidatul ‘awam, Syifa-ul Janan, kemudian ‘Imrithy, Alfiyyah ibnu Malik dan Nahwu Shorof. Pada malam hari sesudah Maghrib, banyak teman yang ikut mengaji di Surau depan rumah kami. Bapak mengajarkan Pesholatan (Cara Sholat dengan contoh gerakan, bacaan yang dihafal dan dijelaskan ) kemudian sesudah Isya, Bapak mengajar para remaja Kitab Safinatun Najah, Fat-hul Qorib, Hadits Arba’in an Nawawiyah dan tanya jawab.

KHITANAN, UJI KEBERANIAN DAN MENTAL AGAMA

Bagi setiap anak laki-laki mungkin menganggap suatu hal yang biasa. Namun kenangan peristiwa saat dikhitan, setiap orang mengalami perbedaan. Di desa Ketapang, umumnya anak laki-laki dikhitan dengan bersama teman sebaya. Bagi kang Mun, saat di khitan tidak sekedar dipotong sebagian alat vital, tetapi memiliki arti dan kenangan yang sangat berpengaruh dalam pembentukan mental agama dan uji keberanian. Anak yang berani di khitan di desa ini umumnya sudah khatam (tamat) membaca Al Qur’an danberani membaca surat-surat pendek dari Juz 30

Pada hari itu Senin Pon tanggal 11 Desember 1964, sesudah tes catur wulan terakhir kelas 4 SD, Kang Mun malam itu harus membaca khataman Alqur’an dengan membaca surat-pendek Juz 30 pada acara sakral Sewelasan, yaitu 11 Robi’ul akhir bertepatan dengan peringatan Haul Besar Syeikh ‘Abdul Qodir Jilani yang dihadiri tidak kurang dari 500 orang dengan panggung yang tinggi di depan kediaman Pak Dhe Basri (mbah KH Basri Abdul Syukur) yang saat itu menjabat sebagai ketua Umum Thoriqoh Mu’tabaroh Prop. Jawa Tengah. Acara itu dihadiri oleh 2 Bupati, Bupati Semarang dan Bupati Boyolali. Secara kebetulan Kang Mun yang sebaya dengan putra ke-5 pak Dhe Basri, Kang Masykur (sekarang Almarhum) maka khitannya diajak bersama. Selain Kang Mun dan Kang Kur ada seorang teman lagi yaitu pak Man (Musliman Hadi Priyono bin Muslimin). Malam itu ketiganya disambut para tamu dan dihormati, bermalam di rumah pak Dhe Bas lantai atas yang beralas kayu. Rumah pak Dhe Bas adalah rumah tingkat satu-satunya di Kecamatan Susukan saat itu. Pagi harinye dengan selamatan yang mewah, ketiganya kemudian dimasukkan ke mobil untuk dibawa ke DKT (Dinas Kesehatan Tentara) Salatiga untuk dikhitan disana. Semua biaya khitanan ketiga anak ini dbiayai oleh Bupati Boyolali waktu itu. Tidak kurang dari satu bulan, ketiga anak yang dikhitan ini tidak pernah berpisah. Bahkan kemanapun berjalannya banyak anak lain yang mendampingi. Setiap pagi, disediakan air hangat di Waskom untuk seko (mebasahi badan memakai lap), dan minuman hangat beserta makanan ringan selalu tersedia. Karena banyaknya orang yang memberi uang, anak-anak yang mengawal disuruh untuk membeli permen dan dibagi-bagi.

Saat itu bukan berarti Bapak tidak mampu membiayai untuk mengkhitankan kang Mun. Tetapi keberanian seorang anak diuji keberaniannya untuk memutuskan disimak (didengarkan) membaca Al-Qur’an dan berani menahan sakit bila di khitan. Keputusan Kang Mun saat ditanya oleh Bapak tentang keberaniannya di khitankan bersama kang Masykur merupakan satu kebulatan keputusan pribadinya. Hal itu sangat dipuji dari keluarga Bapak dan keluarga pak Dhe Bas, karena kang Kur sebenarnya anak yang penakut dan manja. Dengan adanya kang Mun yang berani di khitan bersamanya, maka kang Kur yang umurnya sebaya, telah membuat besarnya hati kedua keluarga.

Khitanan ketiga anak ini tidak sekedar pertemanan yang dekat, tetapi lebih jauh sebagai symbol persatuan antara tokoh agama dari Bapak sebagai tokoh penggerak pengajian dan khotib tetap di Masjid Kwangsan, dengan figur pewaris

Pengasuh Masjid terbesar di desa Ketapang.

MENERIMA MASUK MTs-NU SUSUKAN SESUDAH TAMAT SD

Sesudah tamat SD pada tahun 1967, sebagian anak yang menonjol dari Ketapang melanjutkan ke SMP Negeri di kota Salatiga. Nilai dan prestasi kang Mun sebenarnya pantas melanujutkan ke sana, tetapi dengan arahan Ibu akhirnya kang Mun menuruti pilihan Ibu, lebih-lebih Ibu yang sudah sering kambuh dari sakit sesak napas.

Dengan modal mengaji di rumah, ketika melanjutkan sekolah lanjutan di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Susukan yang berjarak 1,5 km dari rumah kearah barat di ibukota kecamatan itu, Kang Muntaha yang sudah mahir kitab-kitab, pada mata pelajaran agama sering disuruh pak guru/ibu guru untuk menjelaskan, bahkan sering pak guru yang salah karena tidak tahu ilmu Nahwu dibetulkan ketika membaca tulisan Arab yang salah. Pujian untuk kang Mun hampir dari semua guru di sekolah MTs sampai Madrasah Aliyah di Susukan.

Ternyata Kang Mun yang tenang tetap membenahi kekurangannya. Sangat disadari saat itu yang harus dikejar adalah ilmu-ilmu pasti, Bahasa Inggris dan hafalan. Sehingga buku-buku yang diperlukan kang Mun, dicari dengan cara mengumpulkan hasil derep (ikut menuai padi) di sawah milik Bapak sendiri yang diberi imbalan hasil panen (bawon) yang kemudian dititipkan untuk ikut dijual guna membeli buku-buku pegangan sekolah. Kemudian dengan rela berjalan kaki ke Salatiga melalui Tingkir (kira-kira 12 km, jaraknya dari rumah), dan sesekali ke Solo yang berjarak 40 km dengan berjalan kaki. Dalam mengejar hafalan Al-qur’an, kang Muntaha sudah memulai disuruh Bapak untuk menghafal sendiri dan mengajar hafalan Juz ‘amma (Juz 30) kepada teman sebaya dan anak-anak waktu pagi di Surau saat masih di MTs. Hasil didikan Kang Mun termasuk saya dan 15-an teman saya bisa hafal dan fasih Juz 30. Kemudian dengan datangnya Pak Dhe Romi (KH. Muromi) di Ketapang yang menjadi alumni Pondok Krapyak (Al-Munawir Krapyak, Yogyakarta), Kang Mun lebih tekun menghafal ke rumah beliau setiap pagi, dengan mentas-hih juz 30, Al Mulk, Ar-Rohman, Al-Waqi’ah, Ad Dukhon, As Sajdah, Al Kahfi kemudian Juz 1 sampai Juz 10 saat tamat Madrasah ‘Aliyah. Kepandaian Kang Mun yang diimbangi dengan tulisannya yang bagus baik latin maupun Arab, maka teman-teman sekelas di ‘Aliyah sering datang ke rumah untuk mengaji bersama di Surau atau Madrasah yang ada di depan rumah.

KEBIASAAN SAAT KECIL

Seperti anak kecil lainnya waktu itu, Kang Mun jarang tidur di rumah bersama Bapak atau Ibu. Bersama teman-teman sebaya sering tidur di Surau yang ada di depan rumah. Sebelum tidur mereka bercanda, sambil menanyakan kepada kang Mun penjelasan pelajaran ngaji dari Bapak dan menghafalkan bergantian. Kang Mun seringkali menyendiri di kala teman-temannya bercanda dengan menulis keterangan Bapak di buku catatannya. Kitab Jurumiyah, Umrithy, dan Alfiyah, kang Mun mencatat lengkap syarah, arti dan keterangan yang diberikan oleh Bapak.

Kebiasaan kang Mun adalah tidak pernah menunda sesuatu yang penting bila dapat dikerjakan pada waktu itu, bahkan jarang memerintahkan kepada orang lain bila dirinya bisa. Bahkan mengajak kepada yang lain bila suatu pekerjaan itu menyangkut pekerjaan bagi yang lain. Sebagai adik, kang Mun sering mengajak aku untuk mandi dan mencuci pakaian bersama ke kali Gambir, mengajak ke sawah untuk mengairi sawah (nurut banyu), membantu Bapak atau disuruh mengirim makanan (ngirim) orang bekerja di sawah/kebun.

Kang Mun adalah seorang putra penurut, khususnya orang tua. Memang Bapak mengajarkan kepada semua putra putrinya untuk mengatakan “Wegah” (malas). Semua yang diperintahkan orang tua, kang Mun selalu mengikuti. Sejak kecil kang Mun sudah terbiasa puasa hari Senin Kamis dan hari wetonnya (kelahirannya) hari Jum’at Pahing. Berbaktinya kang Mun terhadap Ibu, setiap malam Jum’at Pahing kang Mun mengambil air putih yang disiramkan ke telapak kaki Ibu kemudian diminum. Begitu Ibu meninggal pada tahun 1968 saat Kang Mun duduk di kelas 1 MTs, kebiasaan itu dilanjutkan ke kaki Bapak sampai kang Mun meninggalkan Desa Ketapang.

Pada hari Kamis sore, kang Mun mengajak teman-teman ke makam Simbah

di Makam Masjid Kidul, kemudian ke makam Eyang di Penggung Sidoharjo yang jaraknya 2 km kearah barat laut dari rumah. Kalau tidak sempat sore hari, ziyarah ke makam dilakukan pada malam hari. Sampai-sampai kebiasaan kang Mun ini diikuti oleh guru Sekolah Arab di depan rumah untuk mengajak semua muridnya ziyarah ke makam Masjid Kidul dan ke Penggung setiap Kamis sore.

Badan yang gemuk sejak kecil, kang Mun sering membawa gula Jawa sebagai makanan camilannya. Yu Sumah pernah bercanda ketika persediaan gula jawa tinggal sedikit”nanti kalau gulanya habis, kamu nderes (mencari nira kelapa) dulu”, saat itu kang Mun menangis karena tidak dapat memanjat pohon kelapa. Kang Mun tidak pernah makan daging, apalagi daging kambing karena saat kecil pernah disuruh pak Tamrin (paman) untuk berpuasa dengan tidak makan makanan yang berasal dari binatang yang bernyawa (nyegah iwak) selama tiga tahun. Sesudah itu jarang sekali makan daging. Yang tidak pernah dilakukan Kang Mun adalah minum kopi, mengkonsumsi obat apalagi merokok, walaupun semua keluarga yang laki-laki terbiasa merokok. Kebiasaan lain kang Mun tidak pernah memakai pakaian yang menyolok dan tidak pernah berkacamata, yang mencerminkan kesederhanaannya.

TIDAK MEMBEDA-BEDAKAN ORANG UNTUK MEMBANTU

Dari Bapak dan Ibu setiap ada keluarga yang sedang memiliki hajat tertentu selalu diajak untuk membantu, baik persiapan maupun ketika resepsi.

Lebih-lebih bila ada keluarga yang sakit atau meninggal, kalau tahu pasti menjenguk melawat walaupun terlambat. Setiap Lebaran , Bapak selalu mengajak untuk Ba’dan ke rumah sesepuh tanpa membedakan kaya dan miskin.

Sehingga sesudah Bapak harus di rumah saat Lebaran, karena sudah tua menjelang wafatnya pada tahun 1981, maka kang Mun mencari pola silaturrohim kepada keluarga dekat dengan membentuk kumpulan keluarga Besar Bani Umar (Eyang/Mbah Penggung) sejak tahun 1973. Saat itu kang Mun masih duduk di kelas 1 Madrasah Aliyah dengan mengumpulkan keluarga Ketapang dan Tingkir. Kumpulan keluarga ini sampai sekarang masih terjalin dengan silaturrahim arisan bulanan dari para pengurusnya dan halal bi halal setiap sesudah Idul Fitri. Bahkan kumpulan keluarga semacam ini kemudian banyak ditiru oleh keluarga-keluarga besar lainnya di Desa Ketapang, selain juga membuat keluarga Besar yang lebih kecil dan efektif. Seperti halnya keluarga besar Bani Azhari, yang kebetulan bulan Syawal kemaren di rumah saya Sukoharjo, Kang Mun berpesan kepada semua anak turun mbah KH Azhari, bahwa “Walaupun zaman berubah bagaimanapun, tetapi orang yang memiliki ilmu dan berbudi pekerti mulia (akhlaqul karimah) pasti akan mendapatkan tempat yang terpuji”.

Terhadap teman, kang Mun berteman dengan banyak orang yang bermacam-macam tipe orang. Karena pendiam dan tidak pernah marah maka seolah–olah tidak ada yang canggung untuk bergaul. Namun terhadap teman yang belum pintar kang Mun tidak pernah menutup pintu untuk memberi nasehat atau menjawab pertanyaan, begitu juga terhadap teman yang pandai kang Mun tidak pernah canggung menghadapi.

Di tengah teman sekolah dan di lingkungan masyarakat, banyak teman yang bentuk badannya pendek, tinggi ataupun punya ciri, ada yang kakinya pincang (thengklang), matanya ciri sebelah (kero atu kincer), tangannya yang tidak bisa lurus (ceko) dan banyak lagi yang lain, tetapi ketika orang lain mengolok kang Mun tidak pernah ikut-ikutan mengejek, sehingga orang yang punya ciri tersebut tetap baik terhadap kang Mun. Sesekali kang Mun mendekati orang yang dibenci orang lain dengan memberi nasehat. Apalagi dengan orang yang masih punya hubungan darah, kang Mun memperhatikan dengan membantu apa yang dia punya dan yang dibutuhkan. Sering kang Mun mengingatkan Wa aatal maala ‘alaa hubbihi dzawil qurbaa (QS Al Baqoroh 177) “… dan memberikan harta benda kepada yang dicintai yang masih kerabat…”. Maasya Allah, terhadap keluarga, apalagi saya sebagai adik, kang Mun tidak pernah mengeluh untuk menbantu, dan ternyata SMS terakhir pada hari Selasa jam 05.00 tanggal 28 Desember 2010, kang Mun yang tidak pernah mengatakan istirahat memberikan SMS kepada saya, “ saat ini aku kurang enak badan, aku perlu istirahat, Mur”. Ternyata itulah kata-kata istirahat yang terungkap pertama dan yang terakhir dari kang Mun. Tidak berselang lebih dari 17 jam dari terkirimnya SMS itu, ternyata Kang Mun telah istirahat, istirahat untuk selamanya. Selamat beristirahat kakakku, semoga anak cucu kita dapat melanjutkan perjuangan hidupmu dan kita dapat berkumpul lagi di dalam nikmat Kubur sampai di Syurga, AMIIN.

اللــهم اغفـر له وارحــمه وعــافه واعف عنه

وأكــرم نزله ووسـع مدخــله واجعل الجنة مثواه

آمين يارب العــالمين

Sukoharjo, Akhir Desember 2010

Adik yang kau tinggalkan

Ali Murtadho Azhari

Kesan Saya tentang Pak Mun

Saya cukup lama mengenal Mas Mun, namun belakangn saya sungkan memanggil dengan sebutan itu, karena mungin sudah jarang sekali bertemu. Tahnun 90-an awal aku masih terlibat berbagai kegiatan dengan Mas Muntaha dalam komunitas ’Forum Gedangan’, komunitas NADIKA dan banyak lagi kegiatan dengan kawan-kawan muda di Salatiga, serempak kompak dan komunikatif. Meski tahun-tahun itu Mas Mun jauh lebih tua di atas saya namun tetap enak dalam komunikasi, bisa diajak bergurau atau nyantai, ngenomi, bahasa Jawanya. Semua itu dibawakan dengan gayanya yang tenang, terkadang juga dengan ekspresi serius tapi masih bisa goyon.

Saya masih teringat ketika melihat desktopnya yang ’utun’, mungkin belum pentium, dengan monitornya yang harus menunggu beberapa menit untuk bisa dilihat tayangan Word-nya. Waow.... Sederhana, bersahaja, serius dan optimistis tapi bisa goyonan.

Ra nyono secepat itu beliau akan meninggalkan kami …. Selamat jalan Pak Mun semoga sikap baikmu, kesederhanaanmu dan optmisitasmu selalu meng-inspirasiku… Semoga Allah SWT selalu membaluri rahmat dan maghfirah-Nya kepadamu…. Amin.

*Muhammad Abdul Rokhim

Mas Muntaha Orang yang Turut Membesarkan Saya

Saya kenal Mas Muntaha (Mas Mun) sejak saya masih menjadi mahasiswa di FT IAIN Walisongo Salatiga pertengahan tahun 1989. Waktu itu saya bersama kawan saya Musa Ahmad mengadakan Seminar “Santri, Kitab Kuning dan Kepedulian Sosial” di pesantren kakak saya di Desa Kalibening. Beruntung kegiatan saya ini terdengar oleh Mas Mun karena kebetulan adik Mas Mun yakni Murtadlo menjadi salah satu peserta, sehingga saya direkomendir beliau untuk mengikuti Pelatihan Metodologi Penelitian Transformatif (PMPT) yang diselenggarakan oleh LPiST-LIPI selama satu bulan di Jakarta. Waktu itu saya bahkan sempat menolak karena takut mengikuti pelatihan yang bagi saya terlalu tinggi yang diikuti oleh kalangan intelektual dan aktifis terpilih dari seluruh Indonesia. Saya bersedia mengikuti pelatihan itu dengan syarat bersama dengan kawan saya Musa Ahmad. Lucu memang, peserta yang semestinya tidak memenuhi persyaratan kok malah minta syarat.

Dan terbukti, setelah mengikuti pelatihan saya bisa disebuat satu-satunya peserta yang benar-benar tidak memenuhi persyaratan, hanya “longa-longo”. Bayangkan saja, satu bulan mengikuti pelatihan saya hanya dua kali berbicara. Selebihnya hanya mendengar.

Namun sepulang dari pelatihan saya bersama Musa Ahmad langsung mengadakan pelatihan serupa bagi teman-teman saya mahasiswa IAIN Salatiga. Kegiatan berlangsung selama satu minggu dan karena alasan penghematan biaya maka kegiatan ditempatkan di rumah saya. Ya, karena memang cuma bermodalkan uang saku Musa Ahmad dan saya yang diperoleh dari keikutsertaan PMPT tersebut. Bahkan, untuk kebutuhan konsumsi Musa Ahmad juga menyumbangkan satu karung beras yang diambilnya dari kampungnya di Kesugihan, Cilacap.

Dampak dari pelatihan ini sangat terasa, para alumni kemudian menindaklanjuti melalui pembentukan komunitas jaringan yang kami namai Jaringan Studi Transformasi Sosial (JSTS) dan berikutnya menjadi organisasi jaringan sosial transformatif di Salatiga. JSTS inilah yang selanjutnya disebut-sebut sebagai cikal bakal gerakan sosial di Salatiga, berbasis mahasiswa IAIN Walisongo, menyusul pendahulunya Yayasan Gemi Nastiti (Geni) dari UKSW.

Berbarengan dengan JSTS, saya lebih banyak konsentrasi di desa saya sendiri bersama para petani membangun kelompok tani dengan nama Paguyuban Berkah Alam Albarokah. Dan Albarokah ini selanjutnya berkembang menjadi Serikat Paguyuban Petani Qaryah Thayyibah (SPPQT) yang sekarang ini menjadi Serikat Tani yang cukup diperhitungkan di Republik ini.

Selesai mengikuti PMPT saya selalu berkontak dengan Mas Mun. Termasuk Mas Mun juga sempat berbagi pada kami bahwa beliau telah melaksanakan serangkaian halaqah Program Peningkatan Wawasan Keulamaan (PPWK) yang diselenggarakan oleh Lakpesdam NU dan kebetulan beliau sebagai Project Officernya.

Bersama teman-teman seperti Pak Imam Baihaqi, Musa Ahmad, Muh Haris, Mohammad Akbar, Abdoel Rohim, Ali Taksisuddin dan lain-lain, dan tentu atas restu Bapak KH.Mahfudz Ridwan (yang lebih akrab kami panggil Pak Mahfudz), kami mencoba mengadopsi program PPWK hanya kami rubah dari Peningkatan Peran Wawasan Keulamaan. Sebelum melaksanakan program ini, atas usul Mas Mun sebaiknya dibangun dulu secara kelembagaan agar pengelolaan kegiatannya lebih jelas. Maka dibuatlah wadah baru yang nantinya akan menangani program-program tersebut. Berbagai usulan nama pun muncul, termasuk Mas Mun yang mengusulkan dengan empat kata yang juga disepakati bersama, yakni Nadwah Dirasah Islam dan Kemasyarakatan atau yang kemudian lebih akrab dengan akronim NADIKA.

Atas sedikit bantuan pendanaan dari kawan saya Annette Kubler dari Umverteilen Stiftung Jerman, kami dapat menyelenggarakan serangkaian halaqah yang diikuti para Kiai dari Salatiga dan Kabupaten Semarang. Kegiatan ini kemudian banyak menghadirkan sejumlah narasumber nasional terkemuka. Nama-nama seperti KH. Mustofa Bisri, KH. Dr. Masdar Farid Mas’udi, Dr. Muslim Abdurrahman, Dr. Qodri Azizi, KH. Malik Madani, MA, KH. Prof. Dr. Said Aqil Siradj, Prof. Dr. Machasin, Dr. Fajrul Falakh, dsb. Mereka dihadirkan ke NADIKA atas kapasitas dan kepakarannya untuk berbicara tentang berbagai persoalan-persoalan keislaman secara aktual. Topik-topik aktual seperti “Dinamika Keilmuan Pesantren dan Keulamaan”, “Dekonstruksi Pemikiran Islam dalam Konteks Kemasyarakatan”, “Peran Keulamaan dan Kemasyarakatan”, dsb.

Kegiatan halaqah NADIKA ini disebut-sebut sebagai kegiatan yang bersejarah dan menjadi sorotan dari berbagai kalangan. Bahkan oleh salah satu narasumber Dr. Moeslim Abdurrahman yang juga pendiri LPiST dan penyelenggara PMPT sempat mengukuhkan saya sebagai alumnus PMPT teladan. Yah, rekomendasi Mas Mun tidak sia-sia.

Setelah NADIKA, Pak Mahfudz bersama para tokoh lintas agama di Salatiga mendirikan Forum Gedangan. Pak Mahfudz menjabat sebagai Ketua Dewan Pengurus, Mas Mun sebagai Ketua Pelaksana Harian, dan saya sebagai sekretaris. Sedikit disayangkan memang, karena Mas Mun lebih banyak di Jakarta sehingga Forum Gedangan dan juga NADIKA cenderung kurang terurus.

Tahun 2003 saya mengembangkan pendidikan alternatif. Satu tahun berikut Mas Mun memasukkan anaknya Rasih Fuadi sebagai salah satu siswa di Komunitas Belajar yang saya prakarsai ini. Dan sekarang ini Rasih Fuadi melanjutkan studinya di UI mengambil jurusan filsafat.

Itulah Mas Mun, orang yang secara idiologis telah melahirkan saya dan menemani saya dalam gerakan selama 20 tahun lebih.

Selasa, tanggal 28 Desember sore 2010 di sofa rumahku, Pak Marjan Sadzali (alumnus halaqah NADIKA tiba-tiba melontarkan gagasan untuk mengadakan kembali program Halaqah NADIKA, dan saya setuju itu tetapi saya sarankan dipelopori oleh SPPQT saja karena kebetulan Pak Marjan Sadzali sekarang ini menjabat sebagai salah satu anggota Dewan Pimpinan Petani SPPQT.

Malam hari tanggal itu juga selepas isya’ saya dapat SMS kalau Mas Mun meninggal tadi sore di Jakarta !. Ya, tadi sore ! pas ketika saya sedang membicarakannya dengan Pak Marjan.

Selamat Beristirahat Mas Mun, saya yakin Nashif Ubadah (Uut) yang sudah menyelesaikan studi S1-nya di Universitasa Al Azhar Cairo, Mesir dan sekarang ini sedang melanjutkan S2-nya di UIN Sunan Kalijaga, juga Rasih Fuadi yang sedang belajar di Filsafat UI mereka akan melanjutkan perjuanganmu.

*Bahruddin

Pak Muntaha Sosok Pribadi yang Ramah

*Satuf Hidayah

Kabar itu terasa mengejutkan, seolah tidak percaya kalau Pak KH Muntaha Azhari atau akrab dipanggil Pak Mun, Mas Mun....sosok yang sangat fenomenal tentu menurutku...

Di Tahun 1999 aku kenal Pak Mun saat didapuk oleh partai baru tepatnya PKB untuk ikut serta menjadi Tim Kampanye Dialogis di kampung-kampung, pertemuan-pertemuan RT / RW yang hampir semua kegiatan itu dilakukan pada malam hari. Tidak ada dibenak saya kalau sosok yang amat sederhana itu ternyata adalah seorang hafisz, kyai dan ulama, bahkan juga seorang dosen di PTIQ Jakarta. Tiwas aku merasa biasa-biasa aja bersama-sama Pak Mun. Bersama-sama dengan Kang Din (Bahrudin), Mas Haris, dll waktu itu menjadi jurkam, yang menurutku sebenarnya lebih dari sekedar kampanye, tetapi justru pendidikan politik yang sesungguhnya. Karena pendekatannya bersentuhan langsung kepada masyarakat untuk memhami apa sebenarnya yang dibutuhkan warga masyarakat di akar rumput sehubungan dengan pemilu.

Terus terang di tahun 1999 itu aku juga baru pertama kalinya terjun ke masyarakat di Salatiga, yang sebelumnya masih berdomisili dari Daerah asal. Tetapi begitu kenal dg Pak Mun dan kawan-kawan, rasanya seperti sudah menjadi warga Salatiga beberapa puluh tahun yang lalu. Rasa grogi dan kurang percaya diri menjadi lenyap seiring kenal dan satu tim dengan Pak Mun dkk.

Pak Mun, saat jasadnya disemayamkan, disholatkan oleh bejibun para mu'izziin dan mu'izzaat aku tercenung sejenak. Aku mengenal beliau sesudah aku kenal dengan Ibu Nyai Zulaicha, istri beliau yang sama-sama berkecimpung di organisasi Muslimat NU Cabang Kota Salatiga. Sejak saat itu aku sering berkunjung ke kediaman beliau untuk sekedar kumpul urusan issue aktual Muslimat, atau urusan organisasi atau ceremony rutin yang dilakukan ibu-ibu. Meskipun banyak diantara ibu-ibu yang hadir, dan pada saat beliau berada di rumah pasti selalu menyapa ibu-ibu dengan ramahnya. Bahkan sering juga berbincang-bincang denganku seputar hal-hal di luar kegiatan ibu-ibu.

Pak Mun...pribadimu yang bersahaja...sederhana dan ramah, ternyata tak dapat begitu saja hilang dari kenanganku...

Pak Mun...semoga arwahmu indah di sisi NYa...amien

Tuesday, February 1, 2011

Pak Muntaha Sosok yang Terbuka

Dr. Pradjarta Dirdjasanjoto, SH, MA*

Secara pasti saya lupa, kapan saya mulai mengenal Pak Muntaha, tapi pada waktu itu kami sama-sama terlibat dalam proses bersama dengan Pak Mahfudz (KH. Mahfudz Ridwan) di Forum Gedangan yang pada waktu itu ada banyak kegiatan bersama. Pada waktu itu ada masa-masa perubahan sosial politik di Indonesia, bukan saja terjadi di tingkat nasional, tetapi juga di tingkat lokal. Ada kegiatan-kegiatan seperti ak keprihatinan (menjelang reformasi), di situ saya ketemu dengan Pak Muntaha. Juga dalam konteks yang lebih lokal lagi pada kegiatan-kegiatan bersama untuk mengatasai persoalan-persoalan krisis ekonomi dan bagaimana melakukan pengembangan masyarakat, di situ saya menjadi sering bertemu dengan Pak Muntaha. Memang pertemuan itu tidak individual, tetapi di dalam kelompok atau komunitas.
Yang menonjol dari Pak Muntaha, menurut saya, punya wawasan yang cukup terbuka terhadap keanekaragaman. Secara nyata sikap-sikap itu dimunculkan dalam berbagai diskusi. Karena pada waktu awal-awal diskusi tentang lintas-iman, sebenarnya untuk banyak orang masih sensitif atau itu hanya dimungkinkan untuk hal-hal yang bersifat umum. Kalau kerja bakti bersama, kegiatan ekonomi atau kemasyarakatan di mana-mana itu bisa, tapi begitu masuk ke ranah bagaimana suatu perbedaan keyakinan itu bisa terjalin dengan pertemanan, bagaimana kemungkinan itu bisa dikembangkan dari perbedaan-perbedaan itu tidak banyak orang memahaminya. Dan, Pak Muntaha adalah salah seorang yang berani membuka ruang itu. Saya kira (pada waktu itu) menjadi pembicara dalam persoalan-persoalan yang menyangkut intern di lingkungan Islam, masih jarang orang mau mengundang.
Tetapi sangat mengesankan karena saya diundang di masjidnya untuk satu pertemuan, dimana dibahas tentang bagaimana proses-proses demokrasi itu diterima dan bagaimana dikembangkan di lingkungan Islam. Karena ada persoalan-persoalan ketegangan yang akan muncul apabila prinsip-prinsip demokrasi mau dikemukakan. Ada perdebatan yang pada waktu itu cukup keras, misalnya, apakah nilai-nilai demokrasi akan bertentangan dengan tradisi-tradisi yang sudah berkembang cukup lama di lingkungan NU maupun pesantren. Persoalan, misalnya kalau pesantren didemokratisasikan tidak mengancam kedudukan kyai atau kedudukan para tokoh. Dia tahu saya punya pandangan dalam persoalan ini, tapi menurut saya sebenarnya dalam tradisi-tradisi Islam itu cukup demoratis, cukup mengandung prinsip-prinsip yang mudah menerima prinsip egalitarianisme.
Saya melihat di pesantren ada prinsip yang tidak terlalu terstruktur dalam sistem yang lama, kapan saja orang bisa masuk ke pesantren, kapan saja bisa keluar tanpa menimbulkan ketegangan. Itu mengandung potensi demokrasi yang besar. Di agama lain, terlebih di bidang pendidikan, kalau orang masuk dan keluar sebelum waktunya itu bisa dianggap DO (drop out). Sementara di pesantren, karena waktunya terbatas, santri bisa pergi atau pindah ke pesantren yang lain itu tidak menimbulkan perasaan sakit hati, ketegangan, dan hubungan santri dengan kyainya juga tidak dirusakkan. Ini potensi2 yang bisa berkembang dari sisi demokrasi dan saya melihat itu tidak menjadi kesulitan.
Mengundang orang non-Islam untuk biacara tentang situasi internal menurut saya itu suatu sikap keterbukaan dari Pak Muntaha. Tampak bahwa dia tokoh yang cukup kuat, cukup disegani, dan tidak takut bahwa kedudukan atau posisinya akan terancam dengan keterbukaan itu. Sehingga dia bisa memulai sebuah hubungan-hubungan lintas iman yang lebih jujur, lebih terbuka, lebih santai, dan lebih dalam suasana kedamaian.
Pada waktu Pak Muntaha pindah ke Jakarta, saya juga merasa kehilangan karena dia bisa menjembatani antara KH. Mahfudz Ridwan yang juga sama-sama terbuka dengan teman muda. Posisi Pak Muntaha secara generasi berada di tengah-tengah antara Pak Mahfudz dan teman-teman yang muda. Ia juga bisa menjembatani dengan kyai-kyai yang lain, bahkan kyai-kyai yang tidak terlalu dekat dengan Pak Mahfudz. Bisa saja orang tetap menghormati Pak Mahfudz tetapi tetap berjarak oleh akrena tidak terbiasa. Sedangkan Pak Muntaha tetap berani untuk menjembataninya dengan segala kelihaian dan sikap yang dia tunjukkan bahwa dia punya sesuatu. Saya menduga, dan dari jauh saya mengamati, Pak Muntaha diterima dengan legowo oleh tokoh seperti Pak Mahfudz dan yang lain. Saya kira semua orang akan mengatakan bahwa kepergian Pak Muntaha memang dirasakan sebagai sebuah kehilangan.
Ke depan ada pertanyaan besar, sejauh mana nilai-nilai, cara pandang, wawasan, dan sikap dari Pak Muntaha sudahkah di sosialisasikan atau ditanamkan di antara orang-orang di sekitarnya. Karena sepeninggal beliau dalam konteks lokal ini menjadi pertanyaan, siapa yang akan melanjutkan posisinya. Tapi saya percaya pasti akan ada, dan itu bukan kekosongan yang terus-menerus, akan ada kandidat atau generasi penerus yang akan mengisinya. Itu pikiran yang muncul di pikiran saya secara sepontan mendengar wafatnya Pak Muntaha itu.
Saya percaya Pak Muntaha orang yang cukup terbuka dalam melihat hubungan antara hal-hal kehidupan sehari-hari dengan persoalan doktrin-doktrin keislaman. Pengantar beliau sewaktu saya diundang dalam diskusi di Masjid Al-Azhar beberapa tahun yang lalu, ada sinyalemen bahwa demokratisasi bisa meruntuhkan kultur NU yang terpusat pada Kyai. Terancamkah hal itu dengan proses demokratisasi? Tapi Pak Muntaha punya sikap bahwa kelenturan dan ruang itu ada dalam tradisi pemikiran Islam. Bagaimana NU juga terbuka terhadap budaya-budaya setempat, itu menunjukkan sifat-sifat kelenturan, walaupun dalam budaya setempat sikap-sikap primordial juga sangat kuat.
Dalam soal ini, Pak Muntaha punya posisi yang juga unik, yang mejembatani antara ikatan2 promordial lokal dengan dunia modern spt dunia pendidikan. Misalnya, kalau dia pergi ke Jakarta sebagai bagian dari tantangan itu, pasti di sana diperhadapkan dengan dunia yang berbeda sekali dengan dunia Salatiga, atau di NU secara lokal. Saya juga melihat di NU warna lokalnya cukup kuat, artinya diakui atau tidak, secara diam-diam keanekaragaman itu cukup besar. Orang sering menganggap NU itu dimana-mana sama, padahal sebenarnya tidaklah demikian karena NU di pesisiran sama sekali berbeda dengan NU di pedalaman, dan kemampuan untuk mengabsorsi budaya-budaya lokal itu cukup besar. Dan saya melihat mobilitas Pak Muntaha itu menunjukkan keterbukaan bagaimana keanekaragaman secara budaya, antara dunia modern dengan dunia tradisional dihadapi. Sejauh ini saya tidak mendengar kesulitan dan sikap-sikap yang menjadi penghambat bagi kemungkinan perkembangan keagaman ke depan bagi teman-teman di NU dan teman-teman di lembaga-lembaga pendidikan Islam.
Ketika saya melakukan studi di Pati, saya bertemu dengan banyak kyai. Ada banyak kyai yang justru menyediakan diri dan membuka diri terhadap perubahan dari luar, bahkan yang dari pusat perkembangan politik di Jakarta. Saya ingat orang seperti KH Sahal Mahfudz juga membuka pesantrennya terhadap macam-macam perubahan dari luar. Walaupun dia tetap kritis terhadap yang datangd dari luar itu, tapi pada prinsipnya beliau membuka diri. Bahkan waktu saya mulai penelitian di sana saya boleh masuk dan diterima di sana. Waktu itu juga ada orang asing yang mengajar Bahasa Inggris di sana. Tapi ada juga kyai yang terhadap perubahan dari luar dia mundur, artinya lebih memilih menjauhkan diri dari politik.
Pak Muntaha adalah tipe kyai yang, sekalipun memelihara identitas kelokalannya tetapi tetap berusaha menerima perubahan-perubahan budaya dan civilisasi dari luar. Dan dia punya kemampuan itu dan melihat perubahan itu sebagai sesuatu yang harus disikapi tanpa menutup mata, sekedar menolak. Tapi juga tidak sekedar menerima karena Pak Muntaha cukup Kritis dan masih tetap ingin memelihara posisinya di NU. Sebagai Ketua Syuriah pasti dia dianggap kompeten untuk memberi respon terhadap tantangan yang muncul dari perubahan zaman, atau perubahan hubungan desa-kota, dsb.
Saya kira Pak Muntaha dan Pak Mahfudz adalah orang-orang yang menempati titik-titik silang kritis. Titik-titik silang itu, kalau Cliffort Geertz selalu mengatakan titik silang kritis antara kemoderan dan ketradisionalan, antara sistem-sistem dan pusat-pusat kekuasaan di luar komunitas umat, dengan apa yang hidup dan dihidupi di lingkungan umat. Itulah posisi-posisi yang khas dari Pak Muntaha dan Pak Mahfudz. Saya sendiri merasa sayang waktu mendengar beliau meninggal, dan karena tidak tahu sehingga tidak bisa mengantar kepergian beliau.


(Antropolog, Direktur Lembaga Percik)

Kesedehanaan dan Ke-Istiqomahan Seorang Sahabat

(Catatan untuk al-Maghfurlah Muntaha Azhari)


Kesan-kesan bersma beliau terlalu banyak dan mendalam untuk membicarakan sahabat dan saya anggap guru Ustadz Muntaha Azhari. Diantara hal yang banyak akan saya cobo tuliskan sebagai catatan abituari 40 hari kepergian Mas Mun, sebagai sebutan saya kepada beliau. Saya kenal beliau sejak tahun 98 ketika diajak Bahrudin mengikuti sebuah pelatihan yang diselenggarakan pak Muslim dkk di Jakarta. Semanjak perjuampaan pertama sampai selanjutnya saya kalau ke Jakarta selalu kerumah mas Mun ketika beliau masih mempunyai rumah kontrakan di Clilitan kecil sebelah kantor P3M Jakarta beliau tidak pernah berubah.
Beliau sangat sederhana dan istiqomah, hal yang mendasari kesan ini muncul adalah pengalaman saya ketika berdekatan dengan beliau, dimana beliau selalu menonjolkan kesederhanaan untuk menggunakan kehidupan dinikmati apa adanya. Sikap kesederhaaan itu terlihat juga pada peran yang tidak diperlihatkan secara beerlebihan beliau sebagai redaksi pelaksana majalah ‘Pesantren’ dalam memproduksi jurnal, disaat jurnal ‘Pesantren’ saat itu dikenal cukup baik, baik dalam kuantitas maupun kualitas. Padahal penulis tahu semua wawacara dan artikel dalam majalah ‘Pesantren’ lebih banyak yang di edit oleh beliau, sebelum masuk di percetakan, tetepi peran ini sama sekali tidak pernah di bicarakan dengan orang luar, padahal majalah ‘Pesantren’ saat itu punya pasar yang ngetrend.
Dan untuk melihat ke-Istiqomahannya terlihat ketika saya di ajak berdiskusi tentang fungsionalisme beragama yang sedang gencar-gencarnya di publis sama Gus Dur dan Kang Masdar. Beliau bertanya pada saya ketika saya sedang siggah di kediamannya Cililitan Kecil, “…mas gimana kamu melihat cara pandang Masdar sama Gus Dur yang banyak mengajak berpikir fungsional”. Saya jawab “…pada dasarnya fungsional bagus tetapi substansi teks ataupun ajaran jangan di tinggalkan.””…jadi kalau untuk untuk memilih kadar berapa apa yang fungsional dalam teks syariah masalahnya harus dilihat dari beberapa segi”.” …kelemahan fungsional menjadikan fungsi tawaran manusia terlalu tinggi untuk mereduksi substansi agama.” Dan tanggapan beliau “…wah itu hampir sama dengan pendapat saya. Saya tidak menolak fungsionalisme agama tetapi agama punya substansi yang tidak harus semua dinalar dengan akal”.”…istilah saya saya tidak memutlakan maqosid as-syariah sebagai satu-satunya cara untuk melihat dan memaknai agama untuk bisa dimanfaatkan oleh manusia, oleh karena dengan hanya mempertimbangkan nalar sebagai ukuran maka temporaritas jaman akan menimbulkan ambivalen dan politisisasi tanpa kepastian ukuran”.
Sebagai pribadi yang sederhana dan istiqomah mas Mun ternyata adalah pribadi yang teliti dan moderat. Kesan ini bisa saya rasakan ketika dengan teman-teman membuat NADIKA sebagai forum penguatan peran keulamaan yang dilakukan di Salatiga dan sekitarnya. Ketika saya diminta membuat konsep tentang bagaimana mengkonstruksi forum supaya sesuai dengan dihaapkan maka saya menulis dari urutan teoritis tentang bagaimana mendelegitimasi, mendekonstrusi dan merekonstruksi kiai sebagai objek kajian. Ternyata dengan kecermatan dan penghormatan terhadap kehidupan sesama kiai, istilah dan kajian yang bersifat profokatif diganti dengan bahasa-bahasa yang moderat dan sederhana, tetapi mempunyai kesan kritis.
Demikianlah kalau saya di minta membuat kesan tentang mas Mun, beliau adalah sosok yang sederhana, istiqomah tetapi mempunyai pandangan yang transformative dalam mensikapi perkembangan umat Islam di Indonesia. Dan setelah lama tidak bersama beraktifitas dan pada satu 3 tahun kemarin diajak berbicara kembali tentang Ulama Rakyat beliau tetap konsen, tetapi waktu lah yang memisahkan beberapa teman untuk tidak bisa berkomunikasi secara intens sehingga harapan beliau untuk menjadikan Salatiga sebagai pusatpengembangan pesantren transformative tidak pernah pudar sampai belia berpulang ke Rohmatulloh. Masalahnya tinggal siapa yang masih mempunyai semangat yang sama untuk melanjutkan gagasan yang mulia ini.

Cilacap 25 Januari 2011


Musa Ahmad

Catatan Obituari Kecil Mas Muntaha: Guru dan Sahabat yang Hangat

Mohammad Akbar*

Perkenalan saya dengan KH. Muntaha Azhari ketika saya masih berstatus mahasiswa pada tahun 1990-an. Secara kebetulan saat itu saya menempati sebuah kamar di sisi pojok Masjid Al Azhar (lama) yang terletak di sisi kanan (depan) rumah kediaman keluarga almarhum. Di ruagan berukuran dua kali tiga meter itulah tempat tinggal (boarding house) saya semasa kuliah bersama tiga orang kawan saya yang lain.
Mas Muntaha (demikian lebih akrab biasa saya memanggil) adalah teman ngobrol di hari libur atau setiap kali beliau pulang dari Jakarta. Banyak hal bisa kami perbincangkan, mulai soal-soal keislaman, pendidikan, sosial-politik, sosial-budaya, dsb. Dari perbincangan-perbincangan ini saya semakin kenal lebih dekat, Mas Muntaha adalah sosok pribadi yang hangat. Dia bukanlah orang biasa, dalam arti orang yang sangat lekat dengan tradisi intelektual dan kademis. Dia juga seorang santri yang khusyu’ dan sangat konsisten dengan perspektif keterbukaan. Dari sisi-sisi inilah saya menjadi lebih dekat dengan Mas Muntaha, sebagai sahabat dan sekaligus juga sebagai seorang guru bagi saya.
Setiap bulan, sepulang dari Jakarta tidak jarang ia berkirim pesan via sms. Sudah pasti, mengundang saya dan teman-teman untuk ngobrol dan kangen-kangenan. Selalu saja ada hal-hal yang sifatnya informatif dan baru yang mewarnai di setiap kami berkumpul dan bincang-bincang. Selain saya, ada juga Ahmad Bahrudin, yang concern dengan pendidikan alternatif yang banyak bercerita tentang eksperimen-eksperimen sosialnya; Muh Haris, yang dalam beberapa periode lalu terjun di bidang politik praktis banyak bercerita tentang perkembanagn-perkembangan mutakhir seputar dinamika politik lokal di Salatiga; Musa Ahmad, yang sibuk sebagai dosen Institut Agama Islam Al-Ghazali (IAIG) Cilacap, kadang juga hadir turut mewarnai reuni; Abdul Rokhim, seorang aktifis yang rajin melakukan pengorganisasian kelompok-kelompok masyarakat mustad’afien tidak kalah serunya saat bertutur tentang dinamika komunitasnya. Demikian pula Mas Muntaha yang selalu meng-update berbagai hal perkembangan-perkembangan mutakhir di tingkat nasional. Latar belakang kami berbeda-beda dalam arti bidang minat dan pekerjaan, tetapi keragaman inilah yang membuat semakin kaya akan perspektif. Dan, naluri saya sebagai seorang peneliti sangat menikmati setiap pertemuan ini karena suasana perbincangannya sangat inspiratif.
Kami sama-sama meyakini bahwa dunia kemasyarakatan adalah sebuah proses yang dinamis, dan setiap proses-proses perubahannya menjadi sangat penting untuk dicermati, bahkan juga disikapi serta dikawal. Perubahan sosial adalah sebuah pergumulan antara dua hal, tradisi dan modernitas. Sebuah tradisi hidup dan berkembang bersama nilai-nilai yang diyakini sebagai sesuatu yang baik bagi masyarakat. Modernitas, umumnya dipahami sebatas benda-benda material yang memudahkan, memanjakan, mendominasi kesadaran berpikir yang kekuatan pengaruhnya bisa berdampak pada rentannya ketahanan mental, bahkan juga moral. Pergumulan antara tradisi dan modrnitas adalah sebuah keniscayaan, dan sudah pasti hal itu akan berdampak pada setiap proses-proses perubahan sosial.
Dalam hal ini pesantren sangat berkepentingan agar tradisi-tradisinya tetap terpelihara dengan tanpa harus diametral berhadapan dengan modernitas. Ini jelas bukan perkara mudah, sebab arus modernisasi yang menawarkan “kemudahan” juga begitu mudahnya menghanyutkan bangunan tradisi. Beruntung dalam tradisi ahlussunnah wal jamaah memiliki prinsip ajaran al muhaafadlatu ‘ala l-qadiim asshaalih wa l-ahdhu bi l-jadid l-aslaah sebagai prinsip kemasyarakatan. Setiap hal yang positif dari tradisi maupun dari unsur modernitas sama-sama mengandung manfaat bagi pembangunan masyarakat.
Mas Muntaha adalah orang yang memiliki pengalaman dalam pergumulan-pergumulan itu. Pengalaman praksisnya talah berhasil mempertemukan antara tradisinya sebagai santri dan sebagai intelektual akademis. Dari pengalamannya ini menginspirasi teman-teman muda di Salatiga sehingga berhasil merancang sebuah kegiatan bersama-sama melalui pengembangan pesantren transformatif. Maka dibentuklah sebuah wadah bernama Nadwah Dirasah Islam dan Kemasyarakatan (NADIKA), sebuah wadah bagi intelektual muda NU yang concern terhadap kajian Islam dan kemasyrakatan. Aktivitas NADIKA tidak hanya berhenti pada studi pengayaan intelektual semata, melainkan juga bergiat dalam pengembangan pesantren dan kemasyarakatan. Mengapa pesantren? Karena di ranah inilah basis kultur kemasyarakatan berakar kuat. Pesantren bukan saja sebagai pusat pengembangan ilmu-ilmu keislaman, lebih dari itu pesantren juga menjadi pusat pemeliharaan nilai-nilai kultural dalam kehidupan kemasyarakatan.
Melalui NADIKA ini para kyai muda baik yang berbasis di pesantren maupun masyarakat di Salatiga dan Kabupaten Semarang dilibatkan dalam beberapa kali halaqah tentang Keulamaan, Pesantren dan Masyarakat. Inti dari proses ini sebenarnya untuk mencairkan titik-titik “beku” di dalam kehidupan pesantren yang memang diakui belum sepenuhnya terbuka terhadap persoalan-persoalan yang memang seharusnya dihadapi. Efeknya juga luar biasa karena proses ini juga menjadikan para peserta makin menjadikan kegiatan ini sebagai kebutuhan bagi peningkatan kapasitasnya sebagai pelayan ummat (khadim l-ummah).
Bagi Mas Muntaha, proses ini barulah permulaan yang tetap dibutuhkan keberlanjutan. Karena itulah ia masih berharap proses ini tetap berlanjut dan dikembangkan secara lebih melembaga. Bahkan, Mas Muntaha berobsesi untuk mengembangkan pendidikan bertaraf Ma’had ‘Alie, namun lebih dulu beliau dipanggil Allah. Semoga semangat dan cita-cita mulia ini bisa dilanjutkan di kemudian hari. Amin.
Selamat jalan, Mas Muntaha, guru dan sahabatku yang baik dan rendah hati, kami semua merindukanmu. ()

*Staff di LSM Percik Salatiga