Tuesday, February 1, 2011

Catatan Obituari Kecil Mas Muntaha: Guru dan Sahabat yang Hangat

Mohammad Akbar*

Perkenalan saya dengan KH. Muntaha Azhari ketika saya masih berstatus mahasiswa pada tahun 1990-an. Secara kebetulan saat itu saya menempati sebuah kamar di sisi pojok Masjid Al Azhar (lama) yang terletak di sisi kanan (depan) rumah kediaman keluarga almarhum. Di ruagan berukuran dua kali tiga meter itulah tempat tinggal (boarding house) saya semasa kuliah bersama tiga orang kawan saya yang lain.
Mas Muntaha (demikian lebih akrab biasa saya memanggil) adalah teman ngobrol di hari libur atau setiap kali beliau pulang dari Jakarta. Banyak hal bisa kami perbincangkan, mulai soal-soal keislaman, pendidikan, sosial-politik, sosial-budaya, dsb. Dari perbincangan-perbincangan ini saya semakin kenal lebih dekat, Mas Muntaha adalah sosok pribadi yang hangat. Dia bukanlah orang biasa, dalam arti orang yang sangat lekat dengan tradisi intelektual dan kademis. Dia juga seorang santri yang khusyu’ dan sangat konsisten dengan perspektif keterbukaan. Dari sisi-sisi inilah saya menjadi lebih dekat dengan Mas Muntaha, sebagai sahabat dan sekaligus juga sebagai seorang guru bagi saya.
Setiap bulan, sepulang dari Jakarta tidak jarang ia berkirim pesan via sms. Sudah pasti, mengundang saya dan teman-teman untuk ngobrol dan kangen-kangenan. Selalu saja ada hal-hal yang sifatnya informatif dan baru yang mewarnai di setiap kami berkumpul dan bincang-bincang. Selain saya, ada juga Ahmad Bahrudin, yang concern dengan pendidikan alternatif yang banyak bercerita tentang eksperimen-eksperimen sosialnya; Muh Haris, yang dalam beberapa periode lalu terjun di bidang politik praktis banyak bercerita tentang perkembanagn-perkembangan mutakhir seputar dinamika politik lokal di Salatiga; Musa Ahmad, yang sibuk sebagai dosen Institut Agama Islam Al-Ghazali (IAIG) Cilacap, kadang juga hadir turut mewarnai reuni; Abdul Rokhim, seorang aktifis yang rajin melakukan pengorganisasian kelompok-kelompok masyarakat mustad’afien tidak kalah serunya saat bertutur tentang dinamika komunitasnya. Demikian pula Mas Muntaha yang selalu meng-update berbagai hal perkembangan-perkembangan mutakhir di tingkat nasional. Latar belakang kami berbeda-beda dalam arti bidang minat dan pekerjaan, tetapi keragaman inilah yang membuat semakin kaya akan perspektif. Dan, naluri saya sebagai seorang peneliti sangat menikmati setiap pertemuan ini karena suasana perbincangannya sangat inspiratif.
Kami sama-sama meyakini bahwa dunia kemasyarakatan adalah sebuah proses yang dinamis, dan setiap proses-proses perubahannya menjadi sangat penting untuk dicermati, bahkan juga disikapi serta dikawal. Perubahan sosial adalah sebuah pergumulan antara dua hal, tradisi dan modernitas. Sebuah tradisi hidup dan berkembang bersama nilai-nilai yang diyakini sebagai sesuatu yang baik bagi masyarakat. Modernitas, umumnya dipahami sebatas benda-benda material yang memudahkan, memanjakan, mendominasi kesadaran berpikir yang kekuatan pengaruhnya bisa berdampak pada rentannya ketahanan mental, bahkan juga moral. Pergumulan antara tradisi dan modrnitas adalah sebuah keniscayaan, dan sudah pasti hal itu akan berdampak pada setiap proses-proses perubahan sosial.
Dalam hal ini pesantren sangat berkepentingan agar tradisi-tradisinya tetap terpelihara dengan tanpa harus diametral berhadapan dengan modernitas. Ini jelas bukan perkara mudah, sebab arus modernisasi yang menawarkan “kemudahan” juga begitu mudahnya menghanyutkan bangunan tradisi. Beruntung dalam tradisi ahlussunnah wal jamaah memiliki prinsip ajaran al muhaafadlatu ‘ala l-qadiim asshaalih wa l-ahdhu bi l-jadid l-aslaah sebagai prinsip kemasyarakatan. Setiap hal yang positif dari tradisi maupun dari unsur modernitas sama-sama mengandung manfaat bagi pembangunan masyarakat.
Mas Muntaha adalah orang yang memiliki pengalaman dalam pergumulan-pergumulan itu. Pengalaman praksisnya talah berhasil mempertemukan antara tradisinya sebagai santri dan sebagai intelektual akademis. Dari pengalamannya ini menginspirasi teman-teman muda di Salatiga sehingga berhasil merancang sebuah kegiatan bersama-sama melalui pengembangan pesantren transformatif. Maka dibentuklah sebuah wadah bernama Nadwah Dirasah Islam dan Kemasyarakatan (NADIKA), sebuah wadah bagi intelektual muda NU yang concern terhadap kajian Islam dan kemasyrakatan. Aktivitas NADIKA tidak hanya berhenti pada studi pengayaan intelektual semata, melainkan juga bergiat dalam pengembangan pesantren dan kemasyarakatan. Mengapa pesantren? Karena di ranah inilah basis kultur kemasyarakatan berakar kuat. Pesantren bukan saja sebagai pusat pengembangan ilmu-ilmu keislaman, lebih dari itu pesantren juga menjadi pusat pemeliharaan nilai-nilai kultural dalam kehidupan kemasyarakatan.
Melalui NADIKA ini para kyai muda baik yang berbasis di pesantren maupun masyarakat di Salatiga dan Kabupaten Semarang dilibatkan dalam beberapa kali halaqah tentang Keulamaan, Pesantren dan Masyarakat. Inti dari proses ini sebenarnya untuk mencairkan titik-titik “beku” di dalam kehidupan pesantren yang memang diakui belum sepenuhnya terbuka terhadap persoalan-persoalan yang memang seharusnya dihadapi. Efeknya juga luar biasa karena proses ini juga menjadikan para peserta makin menjadikan kegiatan ini sebagai kebutuhan bagi peningkatan kapasitasnya sebagai pelayan ummat (khadim l-ummah).
Bagi Mas Muntaha, proses ini barulah permulaan yang tetap dibutuhkan keberlanjutan. Karena itulah ia masih berharap proses ini tetap berlanjut dan dikembangkan secara lebih melembaga. Bahkan, Mas Muntaha berobsesi untuk mengembangkan pendidikan bertaraf Ma’had ‘Alie, namun lebih dulu beliau dipanggil Allah. Semoga semangat dan cita-cita mulia ini bisa dilanjutkan di kemudian hari. Amin.
Selamat jalan, Mas Muntaha, guru dan sahabatku yang baik dan rendah hati, kami semua merindukanmu. ()

*Staff di LSM Percik Salatiga

No comments: